Oleh: mariapurinurani | Oktober 10, 2010

KEMISKINAN : SUATU TINJAUAN EKLETIK TEORI-TEORI SOSIOLOGI PEMBANGUNAN (Teori Moderenisasi, Ketergantungan Dan Sistem Dunia)

Teori-teori pembangunan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yang berkembang secara tesis dan antitesis yang perkembangannya mengikuti wacana teori dan aksi secara berulang-ulang. Pada tahap pertama muncul teori modernisasi yang berada dalam kerangka teori evolusi. Teori ini muncul di Amerika Serikat yang mengaplikasikannya dalam program Marshal Plan. Karena ada ketidakpuasan terhadap pola pembangunan ini, maka kemudian lahir teori ketergantungan (dependency theory) yang memiliki sisi pandang dari negara-negara dunia ketiga yang berada dalam posisi tergantung terhadap negara-negara maju. Terakhir, untuk cara pandang yang lebih sempurna, lahir teori sistem dunia (the world system theory), dimana dunia dipandang sebagai sebuah sistem yang sangat kuat yang mencakup seluruh negara di dunia, yaitu sistem kapitalisme.
Kemiskinan Dari Pandangan Teori Moderenisasi
Modernisasi yang mendorong terjadinya perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik tak jarang menghadapi resistensi yang tak kecil. Cara pandang yang sempit dan tingkat kesulitan yang tinggi menerima cakrawala berpikir baru, adalah sekelumit catatan yang sangat berarti untuk diperhatikan. Mengingat pada masyarakat mekanik yang berwatak tradisional telah terbangun sebuah formasi sosial yang telanjur mapan. Sehingga, ada kalanya pembangunan tidak direspon positif dengan segenap aspeknya. Yang pada tingkat tertentu tak hanya memunculkan stagnasi pembangunan, tapi bahkan membawa akibat buruk berupa kebangkrutan budaya.
Berbeda dari masyarakat organik yang berubah pasca-berlangsungnya industrialisasi yang telah membawa dampak yang sangat besar dalam masyarakat. Kecenderungan untuk bersikap rasional dan berkembang dalam lingkungan yang lebih majemuk, telah merekonstruksi formasi sosial lama pada pola baru yang lebih mampu mengakomodasi pandangan-pandangan baru yang sebelumnya di masyarakat mekanik menghadapi resistensi. Bahwa telah terjadi pergesaran, hal itu memang menjadi kemutlakan. Yang menjadi soal sesungguhnya, tidak pada perubahan itu sendiri. Karena perubahan—dalam bentuk kehidupan apa pun—adalah realitas niscaya.
Yang menjadi penting dalam konteks ini adalah, sejauh mana perubahan yang berlangsung dalam masyarakat memberikan dampak yang positif di banyak segi menyangkut kemanusiaan. Dan pada saat yang sama, membangun sikap kritis atas setiap pergeseran yang memberikan implikasi negatif kemanusiaan. Sementara perubahan, adalah tetap perubahan yang tak mungkin ditolak.
Perspektif teori Modernisasi Klasik menyoroti bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara Barat dilihat sebagai negara modern. McClelland menyarankan agar Dunia Ketiga mengembangkan dirinya untuk memiliki nilai-nilai kebutuhan berprestasi yang dimiliki Barat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kaum wiraswasta modernnya. Artikel diatas, menggambarkan keinginan kuat masyarakat untuk mengadaptasi nilai-nilai “gaya hidup” Barat sebagai identitas modernnya. Secara kasat mata dapat dikatakan telah terjadi proses homogenisasi budaya dunia. (fastfood) dengan hanya mencontoh (akulturasi) atau melakukan “cultural borrowing” (westernisasi). Hal ini sejalan dengan aliran pemikiran yang berakar pada perspektif fungsionalisme maka aliran modernisasi memiliki ciri-ciri dasar antara lain: ”Sumber perubahan adalah dari dalam atau dari budaya masyarakat itu sendiri (internal resources) bukan ditentukan unsur luar”.
Modernisasi pada artikel diatas digambarkan tidak hanya menyentuh wilayah teknis, tetapi juga menyentuh nilai-nilai, adanya karakteristik ditemukan sebagian dari ciri-ciri manusia modern sebagaimana menurut Alex Inkeles (1969-1983) dalam teorinya “Manusia Modern”, yaitu :
o Sikap membuka diri pada hal-hal yang baru.
o Tidak terikat (bebas) terhadap ikatan institusi maupun penguasa tradisional.
o Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan
o Menghargai ketepatan waktu
o Melakukan segala sesuatu secara terencana
Bila dalam teori Modernisasi Klasik, tradisi dianggap sebagai penghalang pembangunan, dalam teori Modernisasi Baru, tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan. Sebagaimana digambarkan pada artikel tersebut, masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah “resistensi” serbuan budaya Barat sesuai dengan tantangan inetrnal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Michael R. Dove dalam kajiannya tentang Indonesia, bahwa budaya tradisional merupakan sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan, mampu melakukan penyesuaian dengan baik terhadap kondisi lokal. Teori ini merumuskan implikasi kebijakan pembangunan yang diperlukan untuk membangun Dunia Ketiga sebagai keterkaitan antara negara berkembang dengan negara maju akan saling memberikan manfaat timbal balik, khususnya bagi negara berkembang. Teori Modernisasi, klasik maupun baru, melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut kepentingan Amerika Serikat dan negara maju lainnya.
Kemiskinan dalam konteks teori moderinsasi adalah keberadaan tradisionalitas yang seringkali menjadi hambatan pembangunan itu sendiri. Negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Dunia Ketiga mengembangkan dirinya untuk memiliki nilai-nilai kebutuhan berprestasi yang dimiliki Barat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kaum wiraswasta modern menggambarkan keinginan kuat masyarakat untuk mengadaptasi nilai-nilai “gaya hidup” Barat sebagai identitas modernnya.
Kemiskinan Dari Pandangan Teori Ketergantungan
Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara pinggiran. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori ini mencermati hubungan dan keterkaitan negara pinggiran dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang akan merugikan negara pinggiran. Negara sentral di Barat selalu dan akan menindas negara pinggiran dengan selalu berusaha menjaga aliran surplus ekonomi dari negara pinggiran ke negara sentral.
Bila teori Dependensi Klasik melihat situasi ketergantungan sebagai suatu fenomena global dan memiliki karakteristik serupa tanpa megenal batas ruang dan waktu. Teori Dependensi Baru melihat melihat situasi ketergantungan tidak lagi semata disebabkan faktor eksternal, atau sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional dan keterbelakangan. Ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan spesifik dan juga merupakan persoalan sosial politik.
Pada artikel diatas, dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Menurut Cardoso sebagai tokoh utama teori Dependensi Baru, negara Dunia Ketiga tidak lagi hanya semata bergantung pada asing, tetapi sebagai aktor yang aktif yang secara cerdik berusaha untuk bekerja sama dengan modal domestik dan modal internasional. Konsep ini dapat menjelaskan sekalipun dalam era globalisasi—wajah lain dari kapitalisme internasional—telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen. Namun kenyataannya masyarakat secara cerdik memanfaatkan intrusi pasar itu menjadi terobosan identitas.
Teori dependensi berbicara tentang kapitalisme dan eksploitasi sebagai penyebab kegagalan negara pinggiran Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu terdapat kesenjangan pembangunan antara negara sentral dan pinggiran, pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut.
Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara sentral sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara sentral. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara “sentral-satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis.
Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan dengan negara sentral pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara sentral. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara sentral. Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.
Frank telah memberikan alasan dari kegagalan negara pinggiran untuk maju seiring dengan negara sentral. Kegagalan ini disebabkan oleh adanya eksploitasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang dilakukan oleh negara sentral. Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara sentral adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara pinggiran merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara sentral. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju.
Apabila kita lihat, tampak bahwa teori dependensi memiliki kecenderungan untuk mempersoalkan kapitalisme sebagai penyebab kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara pinggiran. Eksploitasi sumber daya alam serta proses pertukatan yang tidak seimbang antara negara sentral dan negara pinggiran menyebabkan tidak seimbangnya keuntungan yang didapatkan oleh masing-masing kelompok negara.
Kemiskinan Dari Pandangan Teori Ketergantungan
Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara pinggiran. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori ini mencermati hubungan dan keterkaitan negara pinggiran dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang akan merugikan negara pinggiran. Negara sentral di Barat selalu dan akan menindas negara pinggiran dengan selalu berusaha menjaga aliran surplus ekonomi dari negara pinggiran ke negara sentral.
Bila teori Dependensi Klasik melihat situasi ketergantungan sebagai suatu fenomena global dan memiliki karakteristik serupa tanpa megenal batas ruang dan waktu. Teori Dependensi Baru melihat melihat situasi ketergantungan tidak lagi semata disebabkan faktor eksternal, atau sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional dan keterbelakangan. Ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan spesifik dan juga merupakan persoalan sosial politik.
Pada artikel diatas, dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Menurut Cardoso sebagai tokoh utama teori Dependensi Baru, negara Dunia Ketiga tidak lagi hanya semata bergantung pada asing, tetapi sebagai aktor yang aktif yang secara cerdik berusaha untuk bekerja sama dengan modal domestik dan modal internasional. Konsep ini dapat menjelaskan sekalipun dalam era globalisasi—wajah lain dari kapitalisme internasional—telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen. Namun kenyataannya masyarakat secara cerdik memanfaatkan intrusi pasar itu menjadi terobosan identitas.
Teori dependensi berbicara tentang kapitalisme dan eksploitasi sebagai penyebab kegagalan negara pinggiran Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu terdapat kesenjangan pembangunan antara negara sentral dan pinggiran, pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut.
Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara sentral sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara sentral. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara “sentral-satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis.
Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan dengan negara sentral pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara sentral. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara sentral. Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.
Frank telah memberikan alasan dari kegagalan negara pinggiran untuk maju seiring dengan negara sentral. Kegagalan ini disebabkan oleh adanya eksploitasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang dilakukan oleh negara sentral. Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara sentral adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara pinggiran merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara sentral. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju.
Apabila kita lihat, tampak bahwa teori dependensi memiliki kecenderungan untuk mempersoalkan kapitalisme sebagai penyebab kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara pinggiran. Eksploitasi sumber daya alam serta proses pertukatan yang tidak seimbang antara negara sentral dan negara pinggiran menyebabkan tidak seimbangnya keuntungan yang didapatkan oleh masing-masing kelompok negara.
Kesimpulan :
1. Kemiskinan dalam konteks teori moderinsasi adalah keberadaan tradisionalitas yang seringkali menjadi hambatan pembangunan itu sendiri. Negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Dunia Ketiga mengembangkan dirinya untuk memiliki nilai-nilai kebutuhan berprestasi yang dimiliki Barat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kaum wiraswasta modern, menggambarkan keinginan kuat masyarakat untuk mengadaptasi nilai-nilai “gaya hidup” Barat sebagai identitas modernnya.
2. Teori dependensi memiliki kecenderungan untuk mempersoalkan kapitalisme sebagai penyebab kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara pinggiran. Eksploitasi sumber daya alam serta proses pertukatan yang tidak seimbang antara negara sentral dan negara pinggiran menyebabkan tidak seimbangnya keuntungan yang didapatkan oleh masing-masing kelompok negara.
3. Demikian halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis, teori sistem dunia menggunakan unit analisis global atau sistem dunia yang merupakan gambaran dari hubungan antar negara.. Teori sistem dunia menyatakan bahwa arah pembangunan lebih bersifat fleksibel dengan adanya peluang perpindahan status suatu negara dalam sistem dunia. Wallerstein mencoba menawarkan konsep pembagian dunia menjadi tiga kutub yaitu sentral, semi pinggiran dan pinggiran. Perubahan status negara pinggiran menuju negara semi pinggiran ditentukan oleh keberhasilan negara pinggiran melaksanakan salah satu atau kombinasi dari strategi pembangunan, sedangkan upaya negara semi pinggiran menuju negara sentral bergantung pada kemampuan negara semi pinggiran melakukan perluasan pasar serta introduksi teknologi modern, serta kemampuan bersaing di pasar internasional melalui perang harga dan kualitas. Tata ekonomi kapitalis dunia dianggap suatu yang layak dan wajar diterima oleh seluruh negara di dunia meski dari negara yang memiliki ideologi yang berbeda dengan kapitalis. Asumsi pembangunan Negara Dunia Ketiga berdasar pengalaman pahit yang pernah dialami, pembangunan yang menyangkut kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran, dan ketimpangan yang muncul akibat kesenjangan pendapatan. Bila sebuah negara mampu mengatasi ketiga persoalan tersebut, tak diragukan lagi negara dimaksud berhasil mengelola pembangunan dengan baik. Lain halnya bila salah satu saja dari ketiga permasalahan yang ada di atas tak dapat tertangani, maka sebuah negara dianggap belum mampu menyampaikan indikasi-indikasi pembangunan. Bentuk-bentuk kuantitatif eksploitasi lewat pemiskinan dan perampasan atas nilai lebih Dunia Ketiga akan diikuti dengan rentannya sistem sosial masyarakat yang terancam mengalami kebangkrutan akibat kegagalan negara mengelola pembangunan.


Tinggalkan komentar

Kategori